Sabtu, 14 Oktober 2023

PUISI OKTOBER BULAN BAHASA

Puisi adalah bentuk seni sastra yang menggunakan bahasa secara kreatif untuk mengungkapkan perasaan, ide, atau pengalaman. Puisi sering kali memanfaatkan gaya bahasa, ritme, dan pemilihan kata yang cermat untuk menciptakan gambaran atau kesan yang mendalam. Puisi bisa berupa rangkaian kata atau kalimat yang disusun dengan perhatian pada suara, ritme, atau penggunaan kata-kata yang tidak biasa, sehingga menghasilkan ekspresi yang lebih intens atau menghadirkan dunia emosi dan pikiran penulisnya.

        Puisi adalah cara yang unik dan artistik untuk mengomunikasikan pemikiran dan perasaan seseorang, dan seringkali memungkinkan pembaca atau pendengar untuk merenungkan makna yang lebih dalam. Puisi dapat hadir dalam berbagai bentuk dan gaya, tetapi intinya adalah menggunakan bahasa dengan cara yang indah dan kreatif untuk menggambarkan realitas atau dunia batin penulisnya.
Pahami makna puisi-pusi ini .

1. Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar

DERAI DERAI CEMARA
Karya : Chairil Anwar

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
---
(Chairil Anwar_1949)

2. Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Darmono

HUJAN BULAN JUNI
Karya : Sapardi Djoko Darmono

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
---

1989
Sumber: Hujan Bulan Juni (1994)

3. Sebuah Jaket Berlumur Darah karya Taufik Ismail

SEBUAH JAKET BERLUMUR DARAH
karya Taufik Ismail

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun‐tahun

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja

Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan'
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan‐bangunan
Menunduk bendera setengah tiang

Pesan itu telah sampai kemana‐mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang‐abang beca, kuli‐kuli pelabuhan
teriakan‐teriakan di atas bis kota, pawai‐pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!
---
(1966)
Sumber: Tirani dan Benteng (1993)


4. Jadi Apalagi karya Musthofa Bisri

JADI APA LAGI
karya Musthofa Bisri

Jadi apa lagi
yang bisa kita lakukan
bila mata sengaja dipejamkan
telinga sengaja ditulikan
nurani mati rasa?

Apalagi
yang bisa kita lakukanbila kepentingan lepas dari kendali
hak lepas dari tanggung jawab
perilaku lepas dari rasa malu
pergaulan lepas dari persaudaraan
akal lepas dari budi?

Apalagi
yang bisa kita lakukan
bila pernyataan lepas dari kenyataan
janji lepas dari bukti
hukum lepas dari keadilan
kebijakan lepas dari kebijaksanaan
kekuasaan lepas dari koreksi?

Apalagi
yang bisa kita lakukan
bila kata kehilangan makna
kehidupan kehilangan sukma
manusia kehilangan kemanusiaannya
agama kehilangan Tuhan-nya?
Apalagi, saudara
yang bisa
kita lakukan?

Allah,
kalau saja itu semua
bukan kemurkaan dari-Mu terhadap kami
kami tak peduli.
---

Rembang, 1998
Sumber: Negeri Daging (2002)



5. Hai, Ma! karya W.S Rendra

Hai, Ma!
karya W.S Rendra


Ma!
Bukan maut yang menggetarkan hatiku.
Tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya
dan kehilangan fitrahnya.

Ada malam-malam
aku menjalani lorong panjang
tanpa tujuan ke mana-mana.
Hawa dingin masuk ke badanku yang hampa
padahal angin tidak ada.

Bintang-bintang
menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan
kehadiran kegelapan.

Tidak ada pikiran
tidak ada perasaan
tidak ada suatu apa.
Hidup memang fana, Ma!
Tetapi keadaan tak berdaya
membuat diriku tidak ada.

kadang-kadang
aku merasa terbuang ke belantara
dijauhi ayah-bunda
dan ditolak para tetangga.
Atau aku terlantar di pasar.
Aku bicara
tetapi orang-orang tidak mendengar,
mereka merobek-robek buku
dan menertawakan cita-cita.
Aku marah. Aku takut.
Aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa.

Hidup memang fana, Ma!
itu gampang aku terima.
tetapi duduk memeluk lutut
sendirian di sabana
membuat hidupku tak ada harganya.

Kadang-kadang
aku merasa ditarik-tarik orang
ke sana kemari.
Mulut berbusa
sekadar karena tertawa.
Hidup cemar
oleh basa basi.
Dan orang-orang mengisi waktu
dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan.
Atau percintaan tanpa asmara.
Dan sanggama yang tidak selesai.

Hidup memang fana.
Tentu saja, Ma!
Tetapi akrobat pemikiran
dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku
lalu mendorong aku menjerit-jerit
sambil tak tahu kenapa.

Rasanya
setelah mati berulang kali
tak ada lagi yang mengagetkan
dalam hidup ini.

Tetapi, Ma,
setiap kali menyadari
adanya kamu di dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah
di sekujur tubuhku.
kelenjar-kelenjarku bekerja.
Sukmaku bernyanyi.
Dunia hadir.
Cicak di tembok berbunyi.
Tukang kebun kedengaran berbicara
pada putranya.
Hidup menjadi nyata.
Fitrahku kembali.

Mengingat kamu, Ma,
adalah mengingat kewajiban sehari-hari,
kesederhanaan bahasa prosa,
keindahan isi puisi.
Kita selalu asyik bertukar pikiran, ya, Ma?
Masing-masing pihak punya cita-cita.
Masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata.

Hai, Ma!
Apakah kamu ingat:
aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit
dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciuman di lehermu?
(Masya Allah!
Aku selalu kesengsem
pada bau kulitmu!)

Ingatkah? Waktu itu aku berkata:
"kiamat boleh tiba.
Hidupku penuh makna."
Wah, aku memang tidak rugi
ketemu kamu di hidup ini.

Dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa
bahwa kemarin dan esok
adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan
sama saja.
Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa.

Sudah, ya, Ma!
---

Jakarta, 24 Juli 1992
Sumber: Puisi-Puisi Cinta (2018)


6. Pahlawan Tak Dikenal karya Toto Sudarto Bachtiar

PAHLAWAN TAK DIKENAL
karya Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda.
---


1953
Sumber: Suara (1962)


Semoga postingan : PUISI OKTOBER BULAN BAHASA ada manfaatnya. Salam Bahagia 👍

Related Posts

0 2:

Posting Komentar