Sabtu, 20 Maret 2021

Perlindungan Hukum bagi Guru dalam Menjalankan Tugasnya

Hak dan Kewajiban Guru
Kami memahami pertanyaan Anda sebagai berikut: bagaimana perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik? Khususnya pembelaan untuk guru yang dituntut secara hukum ketika menjalankan tugasnya, karena melakukan tindakan fisik terhadap anak didik.

 
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU Guru dan Dosen”). Ketentuan ini mengatur dengan jelas hak dan kewajiban guru dalam menjalankan tugas keprofesionalannya sebagai guru.
 
Pasal 14 ayat (1) UU Guru dan Dosen menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
  1. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
  2. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
  3. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
  4. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
  5. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
  6. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
  7. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
  8. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
  9. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
  10. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
  11. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
 
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru ini diatur dengan peraturan pemerintah.[1]
 
Pasal 20 UU Guru dan Dosen menerangkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
  1. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
  2. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
  3. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
  4. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
  5. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
 
Terhadap guru yang melanggar kewajiban di atas terdapat ancaman sanksi administratif hingga etik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 77 UU Guru dan Dosen yang berbunyi:
 
  1. Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. teguran;
  2. peringatan tertulis;
  3. penundaan pemberian hak guru;
  4. penurunan pangkat;
  5. pemberhentian dengan hormat; atau
  6. pemberhentian tidak dengan hormat.
  1. Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
  2. Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
  3. Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.
  4. Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri
 
Merujuk pada ketentuan di atas, disebutkan dengan jelas bahwa UU Guru dan Dosen memberikan perlindungan hukum bagi guru untuk menjalankan tugas profesionalnya dengan memberikan hak untuk memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan dan memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
 
Meskipun demikian, ditegaskan pula bahwa dalam menjalankan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban, salah satunya, untuk bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran dan juga  menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.
 
Dengan demikian, kebebasan yang diberikan kepada guru dalam memberikan sanksi kepada peserta didik haruslah sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
 
Sebuah kewajiban bagi guru dalam melaksanakan haknya untuk bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran serta menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.
 
Ketika hak dan kewajiban guru telah dilaksanakan dengan seimbang dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan UU Guru dan Dosen diharapkan tidak akan terjadi permasalahan yang berujung pada pelaporan pelanggaran administratif, kode etik guru, hingga laporan kasus hukum pidana atau bahkan terancam sanksi yang menjadi konsekuensinya jika terbukti.
 
Hak Anak Mendapatkan Perlindungan dari Kekerasan
Yang menjadi permasalahan adalah seperti halnya yang Anda sampaikan ketika guru telah melakukan “sedikit tindakan fisik” atau yang kami pahami sudah mengarah kepada tindakan kekerasan fisik.
 
Hal ini mengindikasikan bahwa tindakan guru telah masuk ke ranah pelanggaran ketentuan hukum yang berlaku khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“ UU Perlindungan Anak”) dan perubahannya .  
 
Perlu dipahami bahwa tindakan fisik, baik itu dalam skala kecil atau besar, pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan, meski hal ini harus dilihat secara kasuistis  terkait tindakan fisik seperti apa yang dilakukan dan dampaknya bagi anak korban.
 
Meski demikian, tindakan fisik tersebut tentu berpotensi mengarah kepada tindakan kekerasan terhadap anak. Tindakan seperti ini mestinya dicegah untuk melindungi anak didik dari dampak buruk kekerasan baik secara fisik maupun psikis.
 
Sesuai dengan ketentuan UU Perlindungan Anak, tanggung jawab perlindungan anak dari kekerasan baik fisik maupun psikis di lingkungan pendidikan semestinya justru harus dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”):
 
  1. Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
  2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
 
Tujuan perlindungan anak ini pada dasarnya untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualtias, berakhlak mulia dan sejahtera.[2]
 
Terhadap pelaku kekerasan terhadap anak terdapat ancaman sanksi pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta sampai dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar bergantung pada derajat perbuatan dan akibat kekerasan itu.[3]
 
Hal ini dikarenakan Pasal 76C UU 35/2014 menegaskan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
 
Menjadi hak anak dan/atau orang tuanya untuk melaporkan, baik itu melalui mekanisme etik profesi guru, institusi pendidikan dan/atau melaporkannya ke kepolisian dalam hal telah terjadi dugaan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang hal tersebut justru tidak sesuai dengan tujuan pendidikan dan perlindungan anak dari tindakan kekerasan.
 
Hak atas Bantuan Hukum dan Perlindungan bagi Profesi Guru
UU Guru dan Dosen mengatur mengenai hak guru untuk mendapatkan bantuan hukum dan perlindungan profesi guru dari organisasi profesinya.
 
Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Guru dan Dosen yang mengatur bahwa organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:
  1. menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
  2. memberikan bantuan hukum kepada guru;
  3. memberikan perlindungan profesi guru;
  4. melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan
  5. memajukan pendidikan nasional.
 
Ketentuan tersebut menjelaskan secara khusus peran penting organisasi profesi guru untuk memberikan perlindungan hak bagi guru yang menghadapi permasalahan hukum dengan memberikan bantuan hukum dan perlindungan terhadap profesi guru.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

 

[1] Pasal 14 ayat (2) UU Guru dan Dosen
[2] Pasal 3 UU Perlindungan Anak 
[3] Pasal 76C. jo Pasal 80 UU 35/2014

Sumber :
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ef1e6f0de53f/perlindungan-hukum-bagi-guru-dalam-menjalankan-tugasnya/
Semoga postingan : Perlindungan Hukum bagi Guru dalam Menjalankan Tugasnya ada manfaatnya. Salam Bahagia 👍

Related Posts

0 2:

Posting Komentar